from :
Our time is over....
Life must go on ..
This is your duty
http://kalamadharma.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Life must go on ..
This is your duty
http://kalamadharma.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
OKEY.
PROLOG
Well, ..... Salam bagi semua,
Kita berjumpa lagi
disini saat ini untuk saling berbagi aneka pengetahuan / pengalaman dalam
perjalanan keabadian yang disebut kehidupan ini.
Tidak menyangka
juga ternyata masih ada rencana blog kami lainnya juga tahun 2018. Agak lupa
kenapa ada rencana bikin blog ini juga … Dhamma Seeker memang kami maksudkan
untuk menampung referensi pengetahuan Truth Seeker (pencari kebenaran) kami via
Net selama ini. Sedangkan Dharma Sekha itu mestinya refleksi penempuhan/
penembusan … wah malu juga … zero, bro. Dari kalamadharma okelah … tidak
meninggikan diri. Namun Dharma Sekha … itu self-term (istilah pribadi) kami
untuk penempuh keabadian dan paska pembelajaran Buddhism hingga saat ini … maaf
… bukan istilah yang tepat … kemaki, guys. Sekha adalah istilah bagi 3 Ariya
Puggala dibawah Arahata (sotapana, sakadagami, anagami) yang masih harus berlatih lagi untuk mencapai level
asekha arahat tersebut sebagai Buddha Savaka. Namun… ya … sudah terlanjur. Mungkin Dhamma
Sikkha … pelatihan Dhamma (tisikkha : Sila – Samadhi – Panna ) lebih pas.
MONOLOG
Sikap gesture
tangan India ini menjadi sangat popular terutama pada saat pandemi global
Covid-19 saat ini dimana jangankan untuk negatif tranyakan untuk positif
keakraban kontak fisik berjabat tangan apalagi cipika-cipiki saja terbatasi
dengan kebijakan distansi sosial untuk kebajikan saling menjaga dan terjaga
(bukan hanya untuk diri sendiri namun juga demi orang lain dan lingkungan
sekitar kita … Sedaka Sutta ?).
Namaste (bagi kami) artinya : " saya
menghormati/menghargai yang ada di dalam anda"
maksudnya : esensi
kemurnian nirvanik, energi keilahian batiniah, materi kealamian zahiriah.
Ingat, tanpa
menafikan peran kebersamaan universal manusiawi kita sebagai faber mundi
(pemberdaya peradaban) di bumi, pada dasarnya kita hanyalah viator mundi
(pengembara yang singgah bukan penghuni tetap) dalam kehidupan duniawi kita
saat ini dengan casing peran persona dagelan nama-rupa samsarik untuk
keberlanjutan kehidupan berikutnya lagi. Jagalah keberkahan di bumi dan bawalah
keberkahan untuk saat nanti. Sebagaimana tuning frekuensi gelombang arus
kesadaran, tanpa menafikan akumulasi karmik sebelumnya konsistensi sikap, tindakan
dan capaian diri saat ini akan berdampak pada konsekuensi yang akan diterima
nanti demikian seterusnya.
Jika anda inginkan
surga di sana layakkan juga surga di sini dengan kearifan menjaga kebersamaan
dan kebaikan untuk sesama dengan memastikan keberdayaan tindakan nyata bukan
sekedar idea anggapan dan keyakinan belaka. Walau secara labeling pandangan
mungkin saja masih nanti (paska pralaya dunia?) namun dalam leveling kenyataan
bisa jadi seketika (tanpa alam antara?).
Jika anda dambakan
kemanunggalan Ilahiah (transendensi moksa individualitas universal nama batiniah ke wilayah rohani tinggi hingga
Anenja Brahma tidak sebatas dematerialisasi murca rupa zahiriah ke dimensi eteris peta, asura Bhumadeva
atau astral Kamadeva 6 ?) layakkan diri sebagai media Brahma Vihara (sebagai
media ilahi … tidak sekedar lihai bertransaksi mendapat untuk tersekap atau
ikhlash memberi untuk menerima kembali namun murni mengasihi sebagaimana
harusnya harmoni kasih universal yang berlaku disadari dan ketulusan untuk
berbagi secara wajar memang perlu dijalani) sehingga kualifikasi adhikari
tihetuka yang dewasa terjaga dan (dikarenakan senantiasa ada korelasi kosmik
antara kesadaran, kecakapan dan kelayakan yang tumbuh berkembang secara simultan/progressif)
kewasesaan batiniah juga akan berkembang (orientasi , refleksi + distansi &
meditasi) dari akar penempuhan hingga puncak penembusannya (asalkan tetap terjaga dari
godaan kemegahan yang menyekap sensasi kemauan, cobaan kemampuan yang menjebak
fantasi keakuan dan labirin parallel yang memandekan, membingungkan atau bahkan
menjatuhkan).
Jika anda harapkan
nibbana nanti layakkan juga nibbana saat ini dengan keterjagaan memandang
tilakhana kesemestaan dengan kewaspadaan tanpa keterlelapan dan
keberdayaan simultan progressif menyelaraskan diri dengan kewajaran pemurnian
adhi sila (moralitas berprilaku zahiriah dan integritas berpribadi batiniah),
memberdayakan diri dengan kemantapan adhi citta bhavana dan semakin
men-terjagakan diri dengan kematangan penembusan adhi panna sehingga memadailah
kualitas Ariya Puggala ... bukan hanya terlayakkan 'sertifikat kosmik' atas
pencapaian magga phala nibbana (irreversible?) namun juga 'kualitas kosmik'
yang memang dipandang layak oleh Advaita Dhamma Niyama untuk tidak lagi perlu
(karena sudah terlalu mampu) 'ndagel' bermimpi di permainan samsara ini.
Namun demikian …
last but not least, Intuisi (mungkin ini bukan istilah umum yang tepat untuk
lazim digunakan … inferensi mungkin lebih familiar… ah, nggak nyangka sudah banyak
sekali terma kreatif yang harus dibuat selama ini karena faktisitas kebahasaan
yang ada …sulit mencari kosa-kata yang sesuai untuk makna spesifik yang
dimaksud : zenka, swadika, etc ) …. . Sekedar gambaran saja kecakapan intelgensi
manusia sesungguhnya sangatlah luas tidaklah sederhana sebagaimana yang umumnya
kita gunakan selama ini. Terma kami mungkin agak berbeda dengan pandangan pakar (Henry Bergson?),
intuisi tidak sama dengan instink … intuisi meng”esa” merendahkan hati menyatu
dalam keseluruhan dan menemukan pentingnya kebenaran sedangkan instink meng”aku”
memisah dari keseluruhan meninggikan diri demi mencari pembenaran kepentingan…
sementara itu intelek walau berusaha mencari kebenaran (pembenaran?) namun dia memisahkan
diri … walau memang sangat berguna bagi kepentingan pragmatis eksistensialitas kita
namun kadang bahkan sering kurang memadai untuk menumbuh-kembangkan
spiritualitas diri.(para filsuf perenealis pasti menyadari ini dan praktisi
meditator pasti mengakuinya juga). Well, maaf … jika Lao Tse ada mengatakan :”Jika
kamu hanya pintar, kamu sesungguhnya masih bodoh.” Ini bukan pernyataan yang mencela kita yang
terbiasa dan sering konyol berbangga dengan kemampuan intelektualitas yang
dimiliki/dicapai namun ini adalah kenyataan yang seharusnya kita akui. Ada
3 tiga kelemahan intelek fikiran terutama untuk penempuhan spiritulitas yang
akhirnya kami sadari hingga saat ini. Fikiran hanya lihai mengulas namun kurang
bijak dalam memecah masalah. Fikiran cenderung berfokus spasial tidak
menjangkau global. Fikiran terkadang juga memperdaya diri dikarenakan
kebiasaannya yang cenderung mengamati dengan meninggi dari menara pengamat maka
dia cenderung untuk menghakimi tidak sekedar memahami yang diamati (kewajaran
arogansi alamiah para intelektual?). Orientasi berfikir yang konsentratif dalam
pengamatan fenomena juga bertentangan dengan penghayatan Realitas kemurnian
meditasi (Perengkuhan Realitas bukan Dualitas Pemisahan ?). Sejujurnya,saya iri
(bukan dengki) pada mereka yang bersahaja namun justru malah diterimaNya.
Seorang Mistisi Senior
pernah menyatakan kepada saya atas keluhan senantiasa gagalnya saya ber-“meditasi”
(tepatnya mencapai keberadaan meditative), beliau berkata : “karena kamu
terlalu pintar.” Jawaban ini mengagetkan saya. Ini memang bukan celaan dari
beliau (karena Saddhamma memang tidak membolehkan perendahan atas lainnya… untuk
tidak menjatuhkan levelnya sendiri dalam ahamkara kesombongan dan melanggar
kaidah kasih universal untuk senantiasa menghargai, menerima dan mengasihi
segalanya) namun juga jangan ge-er 'gede rasa' dan secara konyol menganggap ini sebagai pujian atas diri sendiri
(dalam penempuhan bukan hanya keahlian daya tangkap yang perlu ditingkatkan namun
kepekaan daya tanggap juga perlu dikembangkan termasuk atas ‘sindiran’ halus yang
terpaksa harus dilakukan atas kenyataan impersonal obyektif yang ada x
keberadaan personal subyektif lainnya). Secara tersirat beliau menceritakan para
Bhakta /Sadhaka yang sederhana pemikirannya justru malahan lebih mampu bahkan sangat
cepat ‘masuk’ karena kepolosan dan ketulusannya daripada para orang yang (merasa/tampaknya) terlalu pintar. Dengan tanpa
menafikan pentingnya referensi intelektual untuk ‘pemuasan akal’ /’kesiapan
diri’ agar mantap dalam kepercayaan dan keberdayaan perjalanan untuk kemudian bersegera
dalam penempuhan keberdayaan secara autentik, meditasi sebagaimana elemen spiritualitas
lainnya sesungguhnya sangatlah murni …tidak mengharuskan (tepatnya mungkin
secara impersonal : tidak memperdulikan atau bahkan tidak menginginkan) anggapan “ke-sudah-sempurna-an” ide dari ego (mana
… kesombongan subyek atas pemahaman intelektual referensi) dan harapan “ke-ingin-sempurna-an”
ego atas ide (tanha… perolehan obyek capaian instan sesuai keinginan). Segala sesuatu akan sesuai sebagaimana aslinya dan segala
sesuatu tetap ada waktunya. Setinggi apapun anggapan kelayakan dan sebesar
apapun keinginan kita … tinggalkan dulu selama sessi itu (tidak penting malah
justru menghambat, membebani dan menghalangi). Jalani saja segalanya secara
sadar dan sikapi secara wajar .. apapun itu. Segalanya akan terakumulasi,
tersinkronisasi dan terrealisasi pada saatnya. Puluhan tahun yang lalu ketika saya
singgah belajar di perpustakaan Vihara Mendut seorang Bhikkhu menasehati :
Jalani saja semuanya (maksud beliau : tisikkha secara murni) jika samadhi sudah kokoh segalanya
akan datang dengan sendirinya.
(Nostalgia Seeker Tempo Doeloe .... ribet, bro.. tidak seperti sekarang. Dulu sering dicurigai dari lingkungan awal dikira murtad dan ketika di komunitas tujuan malah disangka mau jihad... capek, dech. Cari data lebih repot lagi... blusukan dulu, masuk komunitas, serap data kemudian sebagaimana datangnya perginya juga harus baik-baik juga. Sekarang via internet sudah berlimpah. Sayang sudah usia senja ... akomodasi mata , intelgensi otak dsb sudah semakin surut menurun walau data berkelimpahan namun hanya sedikit yang bisa sempat dibaca )
Well … lega juga ... saya sudah jujur mengakui kami hanyalah pemerhati yang belum berlevel meditator tihetuka handal ... dihetuka padaparama istilah 'teknis'-nya ... mentok di wawasan & stagnan ke level tataran kelanjutannya, namun semoga sharing pengalaman dan refleksi pengetahuan ini cukup berguna.
Tambahan bagi sesama Padaparama lainnya:
Taoist mengungkapkan
saran intuitif yang terdengar agak paradox: “berfikirlah dengan hatimu karena
otakmu sesungguhnya hanya menara pengamat.” Dari Esoteric
Psychology Osho ( source link-nya sekarang ‘zonk’ ?) menyatakan ketika seorang
bertanya kepada rahib Zen Buddhism darimana anda berfikir ? dia akan
meletakkan tangannya di pusar perutnya… jawaban insight yang mungkin terdengar ‘gila’ atas 3
dantien sentra kesadaran manusia. Jangan marah namun tersenyumlah ini hanyalah
candaan kosmik atas kekonyolan kita selama ini yang tidak berkembang dan kurang berimbang.
Sekedar bercanda
juga, virus corona tampaknya secara tersirat mengajarkan kita agar kembali
menjaga keberadaban kita sebagai manusia tidak hanya selalu mengejar
kebahagiaan (garukan via carukan kesejahteraan eksternal), tidak sekedar
terpukau dengan kemajuan peradaban saja apalagi mengumbar nafsu keinginan dan
kekuasaan dengan menghalalkan segala cara ('black' konspiratif, provokasi
manipulatif, agresi intimidatif) yang juga akan menyalahi 'diri' anda yang lain
(baca : 'orang'/ 'makhluk'/ 'figur' lainnya - diluar identifikasi ego ke'aku'an
diri sendiri ) karena sesungguhnya kosmik ini terdesain homeostatis inter-connected
equilibirium dalam kaidah kasih universal... suatu keburukan akan juga
berdampak kepada lainnya demikian juga sebaliknya ... walau dampak kamma-citta
memang berlaku pada arus kesadaran individual namun tegakah kita melakukan
keburukan/ kebusukan, kenakalan/ kejahatan , kejahilan/kezaliman juga pada yang
lain ? (beban karmik bisa lebih berat karena menyusahkan pemberdayaan apalagi
menyesatkan dalam keterpedayaan apalagi jika menghancurkan keberadaan lainnya
juga, lho). Jangan berbuat keburukan, lakukanlah kebaikan dan murnikan batin
fikiran sesungguhnya wejangan Dhamma Buddha Gautama yang bukan hanya berlaku
(tepatnya : ditegaskan kembali sebagai konfirmasi bagi tetap konsistensi ke-Ariya-an yang telah dicapai)
pada sekumpulan para Arahata di bulan Magha saat itu sebagaimana yang tersurat namun secara tersirat juga bagi (sesungguhnya
terutama ditujukan kepada) kita semua untuk perlu (harus?) konsisten untuk mencapainya ... apapun siapapun dimanapun peran dan
tugas kita berada.
EPILOG
Seorang ahli hikmah
(mungkin Ali b Abu Thalib ra) ada menyatakan : bicaralah hanya ketika anda
memang perlu bicara namun janganlah bicara jika hanya ingin bicara .... mungkin
ini dimaksudkan agar hanya kebenaran, kebajikan dan kebijakan yang terungkapkan
dengan kesadaran holistik, ketulusan harmonis dan kepolosan autentik bukan
sekedar estetika hipocricy kepantasan , apalagi kepicikan yang kasar (reaktif
paranoid neurotik) dan kelicikan yang lihai (manipulatif, provokatif ,
intimidatif). Cahaya (esensi murni) tampaknya memang seharusnya meniscayakan
pelayakannya sebagaimana cahaya secara alami dan murni yang (maaf) bukan
'hanya' berguna memberdayakan untuk terpancarkan ke permukaan namun terutama
demi pemurnian/kemurnian di kedalaman. Terlalu 'rendah' dan justru akan
me'rendah'kan saja jika internal drive kewajaran peniscayaan ternodai eksternal
motive kepamrihan pemantasan apalagi pengharapan demi sekedar kebanggaan
pengakuan dan atau pembenaran kepentingan belaka. .....
(walau mungkin ini
bisa juga rambatan keakuan yang lain untuk kesemuan pengharapan perfectionist
atau jangan jangan karena kekikiran tidak ingin interaksi berbagi ... entahlah
... yang jelas mood untuk spontan meng-inferensi data dan mengekspresikan idea
masih macet saat ini ).
Namun demikian
wawasan referensi universal (walau bukan refleksi pandangan autentik kami)
perlu kami sampaikan demi kebajikan dan kebijakan semua (termasuk juga secara
'tersirat' (?) kami maksudkan sebagai 'pancingan' pemicu dan pemacu mood kami
yang masih membeku ... keran perlu dibuka agar air bisa mengalir lagi).
Berikut adalah
aneka resensi buku, quotes para master/expert dsb.... yang bagi kami penting
untuk disimak (bahkan mungkin saja dan memang pastinya lebih baik daripada yang
bisa kami lakukan ... namun inilah hal terbaik untuk melakukan kebajikan dan
men-share kebijakan yang bisa kami lakukan pada saat ini).
(Maaf ... jika
tidak tertata rapih .... karena sulit juga layout posting blog ... sering kacau
font size, format style .... maklum gaptek,nih.)
Update Content :
20 Mei 2020 sd 02 Juni 2020
Update Content :
20 Mei 2020 sd 02 Juni 2020
listing
of DHARMA SEKHA 02062020.rar
|
|||
file
|
as
jpg
|
timestamp
|
size
|
2020-06-02 23:49
|
389612
|
||
2020-06-02 23:49
|
1022808
|